"Izul!" teriak pak Dane membangunkan Izul. Namun Izul tidak bangun-bangun juga. Radit pun sedikit tertawa.
Tiba-tiba pak Dane melihat ke arah semua siswa, dia menutup mulutnya dengan telunjuknya, memerintahkan untuk diam. Kelas sembilan saat itu benar-benar sunyi.
Kepala sekolah yang menunggu di luar memasuki kelas itu. Beliau mencoba membangunkan Izul. Dia seperti bangun namun matanya masih terpejam, menolak untuk dibangunkan. Dia membuka matanya dan kaget karena ada kepala sekolah di hadapannya.
Beberapa murid menertawakan namun pak Dane hanya tersenyum. "Benar kan?" tanya pak Dane kepada kepala sekolah yang dijawab dengan anggukan.
"Ada apa kau ini? Gurumu sedang menjelaskan, malah tidur kau ini!" Kepala sekolah memarahi Izul.
"Penjelasannya terlalu panjang dan kurang jelas lagi, ditambah mataku ngantuk jadi tidur aja," sahut Izul dengan santainya.
"Kalau penjelasannya kurang jelas, nanya dong! Jangan malah tidur! Ini yang membuat nilaimu rendah!”
"Tunggu, bagaimana anda tau Izul ini nilainya rendah?" tanya pak Dane.
Kepala sekolah terdiam sejenak, sampai menjawab "Dia adalah anakku." Banyak yang terkejut mendengar jawaban beliau.
"Sejak kelas enam, dia malas saja belajar. Aku juga bingung kenapa. Kurasa itulah sebabnya nilainya rendah mulu."
Izul hanya terdiam dan kepala sekolah meninggalkan kelas. Dia memegang kepalanya.
"Ini adalah sebuah pelajaran bagi kita semua. Janganlah bermalas-malasan dalam belajar," ujar Pak Dane.
"Pak Dane!" ucap Radit. "Saya ada yang ingin ditanyakan."
Tepat di saat pak Dane berjalan menuju Radit—
DOR! PRANG!
Sebuah tembakan dari luar hingga memecahkan kaca jendela kelas sembilan.
Bersambung
Komentar
Posting Komentar